KEKAGUMAN
Harris Cinnamon
Delia, kamu cantik!
Rambutmu,
matamu, hidungmu, lesung pipimu, merah jambu bibirmu, dan tubuhmu yang
tinggi semampai itu menyempurnakan kecantikanmu.
Tapi sungguh, bukan itu yang membuat aku mengagumimu.
Aku kagum padamu karena kamu adalah seorang broadcaster sejati bagiku…
Sebagai
seorang juru kamera, aku kerap ditugaskan bersamamu. Tapi kita jarang
saling tegur sapa. Kalaupun sempat berbincang, itupun just say hallo atau
ala kadarnya saja. Apalagi saat kamu menjadi penyiar berita, dan aku
hanya juru kamera studio, saling beradu pandang saja sudah lumayanlah.
Seusai on air membacakan berita, kamu segera melepas clip on
dari bajumu, membereskan skrip-skrip berita, sejenak senyum kepada
crew, termasuk juru kamera seperti aku, lantas setelah itu kamu beranjak
menjauh, meninggalkan ruang studio yang dinginnya bisa bikin badan
beku. Begitulah, selalu.
Sampai suatu saat, mungkin karena prestasi atau alasan lainnya –- dan aku tidak mempersoalkannya, aku lantas dimutasi ke bagian lapangan. Menjadi juru kamera luar ruang, out door.
Dan otomatis sejak saat itu, aku tidak lagi bisa bertemu dan melihatmu
secara langsung, seperti biasanya. Aku kemudian hanya bisa melihat dan
mendengar suaramu lewat layar kaca televisi. Terkadang ada kerinduan
untuk bertemu kamu. Karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu, sesuatu yang menyentuh naluriku.Tapi
aku takut kamu salah sangka padaku, dikira nanti ada maksud-maksud
tertentu. Dan apa pula alasannya kalaupun ada waktu buat bertemu.
Hubungan antara juru kamera lapangan dengan penyiar berita di studio,
nyaris tak ada sama sekali. Kecuali jika profesiku produser berita,
tentu akan aku gunakan jabatan itu untuk menemuimu dan mengatakan yang
menjadi uneg-unegku.
Lewat
tugas-tugas yang menumpuk di lapangan -- merekam peristiwa membuncahnya
lumpur Lapindo di Sidoarjo, longsor di Padang , Banjir di Samarinda,
keributan warga di Sorong, dan lain-lainnya --, aku coba
melupakan kamu. Memang bisa, tapi sesaat. Artinya pada saat aku hanyut
dalam pekerjaan, kamu bisa kulupakan. Namun, di saat istirahat di kamar
hotel, menjelang tidur dan apalagi ketika menyalakan TV ada kamu
menyiarkan berita – yang gambar-gambarnya adalah hasil bidikan kameraku,
maka ingatan terhadap kamu mengusik benakku. Rasanya sulit melupakanmu.
Beberapa
waktu berlalu, seolah sudah tak ada kemungkinan lagi untuk bertemu
kamu. Seolah kamu adalah seleberitis di layar kaca, sedangkan aku
hanyalah seorang pemirsa, yang ketika menyukai artis idolanya hanya bisa
berangan-angan dengan segala asa. Namun betapa
terkejutnya aku, begitu mendengar kabar bahwa kamu memutuskan untuk
berhenti menjadi penyiar berita dan berniat menjadi seorang reporter
saja.
“Bukan
berarti saya mengecilkan profesi penyiar berita,” ungkapmu di salah
satu infotainment. “Tapi menjadi reporter, yang terjun langsung di
lapangan, bagiku terasa lebih menantang. Aku lebih bisa merasakan secara
mendalam apa yang dirasakan oleh narasumber dari setiap peristiwa yang
dialaminya, bahkan aku bisa melihat dari dekat kejadian yang
sesungguhnya di lapangan.”
Aku
terpukau terhadap pernyataanmu itu. Surprise, tapi juga sedikit kurang
percaya. Profesi -- penyiar berita -- yang prestisius itu akan kamu
tinggalkan begitu saja hanya untuk menjadi seorang reporter lapangan?
Sementara puluhan bahkan ratusan orang berebutan untuk bisa menjadi
penyiar berita TV dengan kursus broadcasting ini-itu dan dengan
biaya yang tidak murah. Sungguh suatu keputusan, yang aneh juga. Dan
sesungguhnya, Delia, aku sangat menyayangkan keputusanmu itu. Namun aku
yakin kamu punya pilihan, yang pasti pula sudah kamu pertimbangkan
dengan matang. Untuk itu, pastinya aku memaklumimu. Tapi …ini yang
penting, meskipun aku menyayangkan atas pilihanmu menjadi reporter itu,
sisi hatiku kecilku yang lain sebenarnya mensyukuri
keputusanmu itu. Karena dengan demikian, harapan untuk bisa bekerja
bareng kamu lagi, agaknya akan segera menjadi kenyataan. Dan akan
semakin terbuka kesempatanku untuk mengungkapkan ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu, sesuatu yang menyentuh naluriku itu.
***
Aku baru saja meletakkan peralatan syutingku: kamera, tripod, mike dan batere di bagasi mobil, ketika sesosok bayangan yang sudah cukup aku kenal melintas. Delia! Jantungku berdegup kencang.
“Hai!” sapamu ramah padaku. “Tidak disangka kita ketemu lagi.”
Aku
merasa tersanjung dengan sapaanmu itu. Namun, aku sedikit pangling
melihat penampilanmu. Ternyata ada perbedaan antara saat kamu tampil
membacakan berita di laya kaca dengan kamu berada di lapangan seperti
ini. Kamu tampak sangat sederhana. Wajahmu yang cantik, kamu biarkan
polos saja, tanpa riasan. Pakaian yang kamu kenakan pun biasa pula:
kemeja putih dan celana jin yang telah pudar warnanya. Sungguh suatu
kebersahajaan yang tak pernah disangka olehku sebelumnya.
“Hai!”
sapamu lagi, membuyarkan keterpanaanku. “Aku berbeda ya?” tanyamu
kemudian, seakan tahu apa yang berkecamuk dalam benakku.
“Oh iya,” kataku terbata.
Sejenak
kamu senyum. Setelah itu kamu masuk ke dalam mobil, duduk di bangku
depan dekat sopir. Aku duduk di bangku tengah sendirian.
Hari
itu, sesuai jadwal – seperti yang tertera di dalam surat tugas yang aku
terima, kita hendak meliput peristiwa penggusuran di kawasan Barito,
Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan, setelah just say hallo itu, komunikasi di antara kamu dan aku terputus. Kamu tenggelam dengan blackberry-mu, agaknya kamu sedang sibuk menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk bahan wawancara atau
untuk maksud lainnya. Entahlah. Yang jelas dengan kondisi kamu seperti
itu, tentu saja aku tak berani mengusikmu. Aku coba menahan diri untuk
tidak mengganggu konsentrasimu.
Hanya
dari tempat dudukku, aku sesekali mencuri pandang. Aku melihat wajahmu
lewat kaca spion yang tergantung di flafon mobil. Melihatmu, aku
membayangkan pelangi di cakrawala. Kebiruan langit akan kehilangan
keindahannya, jika tanpa bias warna dan cahayamu.
Suara hiruk pikuk, suara orang-orang berteriak, menyadarkanku. Ternyata kita telah sampai di lokasi tujuan peliputan di Barito. Kamu
segera melesat kaluar, menerobos kerumunan massa . Aku pun tak mau
ketinggalan, aku segera mengangkat kamera, menyalakannya dan mengarahkan
lensa ke arah mana kamu melangkah. Tak dinyana, kamu memperlihatkan
kegesitan sebagai reporter berita. Tak terlihat canggung sama sekali.
Padahal ini adalah kali pertama kamu terjun langsung ke lapangan. Tapi
kamu sudah seperti reporter profesional. Kamu menunjukkan diri sebagai
seorang reporter kawakan. Luar biasa!
***
Sejak
bersua dan bekerja sama lagi di ranah luar ruang, dimulai dari
peristiwa penggusuran di Barito, Jakarta Selatan, beberapa bulan lalu,
selanjutnya kita sering mendapatkan tugas jalan berdua. Yang tadinya,
hanya bicara seperlunya, hanya sedikit pandangan mata dan sekilas
senyuman biasa, sekarang agak lebih leluasa dan bersahaja. Kita pun bisa
lebih akrab berdekatan dan berbicara.
Dan hari ini, Delia, barangkali adalah hari yang paling pas untukku berbincang panjang lebar denganmu tentang ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu, sesuatu yang menyentuh naluriku.
Mengapa aku katakan paling pas, karena aku menangkap kegembiraan yang
sangat luar biasa dari dirimu ketika mendapatkan tugas meliput longsor
di Karanganyar. Jadi aku yakin kamu akan menaggapiku dengan serius. Dan
sekaligus akan kupakai kesempatan ini untuk mengekspresikan kekagumanku
kepadamu.
“Aku
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini,” tukasmu berapi-api atas
tugas peliputan longsor di Karangayar itu. “Lewat peristiwa longsor ini
aku akan menampilkan reportase terbaikku.”
“Bukankah selama ini tidak ada yang buruk?”
“Tapi harus selalu ada yang meningkat.”
Hebat!
Itulah kamu, Delia. Kamu sangat cinta pekerjaanmu. Seakan tak ada kata
menyerah, sekalipun pekerjaan itu menantang bahaya. Ini salah satu yang
menjadi sebab mengapa aku begitu mengagumimu.
“Dari
awal aku mengenalmu,“ ungkapku mencoba menjelaskan mengapa aku
mengagumimu, “kamu adalah seorang yang punya potensi besar di dalam
karirmu. Aku sangat yakin itu. Dan dalam banyak kesempatan, keyakinan
seperti ini ingin sekali kukatakan padamu, tapi tak pernah kesampaian.
Dan hari ini aku merasa sangat bahagia, karena akhirnya aku bisa
mengungkapkannya padamu.”
Kamu tersenyum. “Terima kasih,” katamu.
“Kamu adalah seorang broadcaster
sejati, Del ,” lanjutku kemudian mempertegas kakagumanku. “Kamu pasti
bisa lebih hebat dari Toeti Adhitama, Desy Anwar, Ira Kusno ataupun
Rosiana Silalahi.”
“Tapi
aku sudah bukan penyiar lagi, “ tampikmu. “Aku reporter sekarang. Namun
apa kebanggan yang akan didapat dari kehebatan, dari popularitas?”
“Apakah bagimu itu tidak penting?”
“Penting, tapi bukan yang utama.”
“Jadi....?”
“Yang utama adalah makna. Jika kita kerja tidak melahirkan makna, apalah artinya kerja.”
Wow!
Aku makin kagum padamu, Delia. Ternyata kekagumanku kepadamu selama ini
cukup beralasan pula. Kamu sebuah kepribadian yang kuat dan mempesona.
Alasan lainnya adalah tutur katamu indah. Bicaramu rapih tertata dan terkadang mengandung sesuatu yang bijaksana.
Makin
kuat keinginanku mengekspresikan kekagumanku kepadamu. Kamu masih belia, tapi matang. Aku juga tahu kamu
masih lajang. Tapi entah kenapa dari
dulu aku lihat kamu masih sendiri saja? Apakah kamu benar-benar lebih cinta pekerjaan
ketimbang pendamping hidupmu?
Padahal aku yakin pasti banyak lelaki yang
merasa berhati bunga menyebar aroma untuk memikatmu. Aku yakin pasti akan banyak lelaki akan menyatakan cinta padamu. Akan banyak lelaki yang mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkanmu. Kamu sempurna, Delia.
Kamu adalah pelangi di cakrawala. Kamu adalah gugusan warna dan cahaya.
Membias lembut dan ramah.
“Ahaiii!” teriakmu membuyarkan anganku. “Kita telah sampai!”
Aku
melihat keluar kaca jendela mobil yang kita tumpangi. Hujan turun
begitu lebat. Suara air bergemuruh, bersitumpuh dengan suara orang-orang
yang berlarian dengan segenap kekhawatiran. Aku melihat wajah-wajah
penduduk Karanganyar berduka. Petaka longsor begitu dahsyatnya.
Seperti biasa, kamu segera melesat ke luar mobil. Seakan tak mau ketinggalan secuil moment-pun dari bentangan realita yang terjadi.
Sambil mengambil kamera, aku juga meraih mantel hujan. “ Del , pakai mantel ini, biar tidak basah!”
“Tidak perlu. Aku ingin tampil apa adanya. Biar lebih dramatis!”
Rambut
dan wajahmu mulai basah diciprati air hujan. Aku tak mau kalah. Biar
sama-sama. Akupun membiarkan tubuhku tanpa perlindungan. Mantel hujan
yang tadi ditolak olehmu, kujadikan bungkus kamera.
Kamu
berlari, menerobos kerumunan orang-orang yang centang perenang. Antara
teriakan dan tangisan. Dengan kamera yang terbungkus mantel hujan, aku
merekam kegesitan kamu.
Demi mendapatkan berita dengan angle dan gambar yang indah, kamu nekad mendekati luapan air yang membuncah.
“Delia,
kamu berdiri di situ saja. Jangan jauh lagi. Gambarnya sudah bagus.”
Aku coba meyakinkan kamu, bahwa gambar yang kurekam sudah cukup
melukiskan fakta dan realitanya. Kamu berdiri dengan latar belakang air
yang meluap-luap dan dengan suara yang menggemuruh pula.
Namun
tampaknya kamu kurang puas dengan posisi berdirimu. Kamu beranjak lebih
dekat lagi, hanya beberpa jengkal dari lupan air yang membuncah itu.
Tanpa diduga, tiba-tiba, luapan air membuncah bertambah dahsyat. Aku
melihat tanah tempat kamu berdiri sudah bergetar, tapi kamu tetap tak
bergeming, kamu terus meminta aku untuk merekam kamu. Dan belum sempat
kamu membuat kalimat berita yang sempurna, kulihat air dan tanah yang
longsor menyeretmu. Sejenak kamu berusaha bertahan dengan kabel mike
yang terhubung dengan kameraku. Tak kuat, kabel mike putus. Kamu
tergerus arus. Aku berlari mencoba mengejarmu. Tapi air yang menerjang
begitu kuat dan deras...kamu terus terbawa arus. Dalam gulungan arus, sempat terdengar lirih kamu sebut namaku. “Shintaaa!!!!” Dan....
Aku menyesal tak berhasil mengingatkanmu, agar jangan terlalu
dekat dengan air yang membuncah itu. Aku menyesal membiarkanmu terlalu
cinta dangan pekerjaanmu. Aku...aku menyesal tak dapat menyelamatkanmu.
Dramatis seperti ucapmu, kejadian ini memang dramatis...
Oh, inikah ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu, sesuatu yang menyentuh naluriku? Ini ternyata takdir, Delia.
Dalam
deras hujan, aku melihat tiga orang tim SAR membopong tubuhmu yang
telah terbujur kaku. Aku tak kuasa menahan pedihku. Aku terseduh.
Kesedihan terdalam meretas jiwaku. Dari linangan airmataku, aku masih
sempat melihat semangatmu, cintamu pada duniamu... terpancar dari
wajahmu yang beku...
Sekarang kamu telah tiada, Delia. Tapi kekagumanku terhadapmu tak kan pernah ada ujungnya. Tak ada tepi, tak ‘ kan mati…
Aku kagum padamu karena kamu adalah seorang broadcaster sejati…
Pondok Gede, 8 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar