Hidayah Datang Saat Maut Menjelang
Harris Cinnamon
Paulus Pujiono, 67 tahun, seharusnya menjadi lelaki yang sangat kesepian, sejak ditinggal mati istri tercintanya. Apalagi kelima orang anaknya, Yanti, Pardi, Leni, Kardi, dan Kunti pun satu persatu pergi meninggalkannya, mengikuti pasangan hidupn mereka masing-masing. Anak-anaknya telah berumah tangga dan punya kehidupan sendiri-sendiri. Tapi ternyata, lelaki tua berdarah Cina Jawa itu tetap riang dan tabah mengarungi hari-harinya.
Kelima orang anaknya, bukan tidak perduli dengannya. Semua sudah pernah menawarinya untuk tinggal di salah satu keluarga dari anak-anaknya itu. Tapi ia tidak mau. Ia merasa nyaman tinggal sendirian, di rumah tua yang ia bangun dengan keringat dan jerih payahnyan sendiri. Yang lebih memprihatinkan adalah orang tua itu, masih tetap memeluk agamanya yang dia anut secara turun temurun, dari kecil hingga setua itu, yaitu Protestan. Sedangkan anak-anaknya sudah berpindah agama, yang secara ikhlas dan penuh penyadaran memeluk Islam.
Yanti, Pardi, Leni, Kardi, dan Kunti merasa sangat yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan diridhoi Allah. Inilah agama yang diyakini akan membawa mereka bisa dengan tenang masuk ke dalam sorga. Sebab Allah telah berjanji bahwa setiap muslim-muslimat, jika telah mengucapkan kalimat syahadat, dipastikan akan masuk ke tempat yang paling dirindukan itu. Mereka sangat sedih, jika nanti berpulang ke Rabbul Izati tidak bisa bersama-sama dengan ayah mereka, yang sekarang seperti hidup terasing dalam agama yang dianutnya sejak kecil itu.
Mereka pernah merayu ayahnya untuk mengikuti jejak mereka masuk Islam. Namun sama seperti saat diajak tinggal seatap, ayahnya menolak dengan halus. "Aku telah mengikhlaskan kalian memeluk Islam, dan sedikit pun aku tak pernah melarang dan marah pada kalian," jawabnya dengan bijak.
Begitulah kenyataannya, ketika anak-anaknya satu persatu pindah agama, karena semua mendapatkan jodohnya orang yang beragama Islam, Paulus Pujiono tidak pernah protes. Malah dengan penuh kelembutan, ia merelakan anak-anaknya meninggalkan agama Protestan, yang juga sejak kecil mereka anut.
Suatu saat Pualus Pujiono sakit keras. Anak-anaknya sangat gelisah dan sedih. Tapi kegelisahan dan kesedihan itu, ternyata bukan disebabkan karena ayahnya sakit, melainkan karena ayahnya ditakutkan mati dalam keadaan kafir. Saat kondisi ayahnya makin kritis, dan telah tampak pula bahwa sang maut sebentar lagi datang menjelang, kegelisahan dan kesedihan itu makin mendera. Yanti, Pardi, Leni, Kardi, dan Kunti tak kuasa menahan air mata yang hendak keluar. Mereka menanngis sejadi-jadinya. Karena tak ada lagi yang bisa diharapkan, untuk memaksakan agar ayahnya segera memeluk Islam. Bukankah, jika nyawa sudah sampai tenggorokan, tak ada pertobatan yang bisa diterima?
Di ujung sakratul maut itu, akhirnya hanya pasrah yang bisa dilakukan oleh Yanti, Pardi, Leni, Kardi, dan Kunti. Namun, sesuatu yang tak disangka, terjadi begitu saja. Tiba-tiba dari mulut ayahnya, terdesis lafas "Ashadu ala ilah hailallah wa ashadu ana Muhammadarasulallah". Tentu saja hal ini membuat kelima anaknya dan orang-orang yang ada di situ, termasuk salah seorang ustadz yang menemani, tercengang. Takjub. Subhanallah. "Inilah hidayah," ujar Ustadz itu tanpa sadar. Setelah mengucapkan kalimat syahadat itu, ayah kelima orang anak itu, Paulus Pujiono pun berpulang ke Rahmatullah. Anak-anaknya menangis terharu, sekaligus bahagia. "Dengan demikian ia telah sah memeluk agama Islam," jelas Ustadz itu kemudian. "Maka layak baginya dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan
secara Islam."
Subhanallah, sungguh Allah Maha berkehendak. Jika Ia menghendaki seseorang itu mendapatkan rahmat dari-Nya, maka akan diberikan rahmat itu. Sebaliknya, jika Ia tidak menghendakinya, sampai binasapun tak kan pernah diberikannya. Beruntunglah Paulus Pujiono, karena ia tidak pernah marah dan malah ikhlas ketika anak-anaknya berpindah agama, memeluk Islam, maka di saat kematiannya tiba ia mendapatkan rahmat dan hidayah dari Allah Swt. Subhanallah. Subhanallah.
Jakarta, 18 Ramadhan 1429 H.
(Kisah Nyata dari Palembang, yang terjadi tahun 1983)
Membentangkan segala yang ada, disujudkan dengan sepenuh jiwa dan dengan kekhusyukan yang sempurna, dari dan kepada-Nya melalui semesta.
Ads1
18 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar