Kualat Setelah Ngumpat Saat Shalat
Harris Cinnamon
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Sekitar tahun 1987. Tapi terekam jelas dalam ingatanku. Sehingga sulit bagiku untuk melupakannya. Terutama karena ada hikmah di balik peristiwa itu.
Begini ceritanya, temanku satu kost-an paling sulit untuk diajak beribadah, padahal sewaktu SMA dia pernah menjadi juara MTQ tingkat kotamadya. Tapi kalau urusan cinta dan pacaran, itu menampati urutan pertama.
Meskipun aku tidak begitu alim, namun aku sering mengajaknya untuk melaksanakan shalat. Aku bilang padanya, "Kalaupun kamu tidak bisa memenunaikan ibadah shalat wajib lima waktu, minimal dalam satu minggu kamu shalat Jumat, itu sudah lebih lebih baik dibanding tidak shalat sama sekali." Dia hanya menjawab dengan senyuman yang tak berarti. Dan selalu begitu, setiap kali aku nasehati. Mungkin karena aku bukan ustads, jadi setiap ajakanku tidak pernah digubrisnya.
Tapi sekali waktu, entah karena disentuh angin apa, tiba-tiba ketika aku ajak melaksanakan shalat Jumat, dia mau. Tapi ketika datang ke masjid, ternyata ruangan masjid telah terisi penuh. Sehingga kami hanya dapat tempat di bagian luar masjid. Memang bukan kami saja yang kebagian tempat di bagian luar, tapi ada puluhan orang lainnya yang bernasib sama dengan kami. Saat itu, matahari bersinar sangat terik. Panasnya sangat menyengat bumi dan bisa melepuhkan kulit. Terpaksa, aku dan temanku beserta para jamaah lainnya yang terserak di luar masjid, mencari tempat berteduh. Ada yang berteduh di bawah pohon, di tempat parkir motor, atau di bawah atap tempat mengambil air wudlu. Sehingga beranda masjid, yang seluruh permukaannya terbuat dari keramik dan tanpa atap itu, leluasa menyerap sinar matahari yang panas membara, terlebih tak seorang jamaahpun duduk di atasnya.
Begitu saat shalat Jumat tiba, seluruh jamaah -- termasuk aku dan temanku, berhamburan mengisi beranda masjid itu. Waw, lantai beranda masjid yang seluruh permukaannya dari keramik ini panasnya naudzubilllah min dzalik...Jamaah lain mungkin tidak begitu merasakan panasnya, karena beralaskan sajadah. Sedangkan aku dan temanku hanya beralaskan koran bekas sebagai sajadahnya. Tahap awal berdiri di beranda yang panas itu, barangkali belum begitu terasa. Namun saat imam telah membaca ummul kitab, barulah rasa panas itu menyesap kulit telapak kaki. Dan koran bekas yang tipis itu, tentu saja tak 'kan mampu menghalau panas yang sangat menyengat. Di tengah-tengah kekhusyukanku dan jamaah lain mendengarkan lantunan suara imam membacakan suat Al Fatihah, tiba-tiba temanku mengumpat, karena tidak kuat menahan hawa panas yang merambati telapak kakinya. Kata-katanya sungguh tidak senonoh, kotor, dan jorok. Segala nama binatang, kemaluan lelaki dan perempuan disebutnya. "Ataghfirullahalazim!" aku mengucap dalam hati. Dan lebih parah lagi, tiba-tiba dia menyelinap pergi dan meninggalkan shaf-nya, menjauhi taklim yang sedang berlangsung khidmat itu....
Beberapa tahun ke depan, sekitar 7 tahun kemudian, setelah peristiwa ibadah shalat Jumat itu, menjelang pernikahannya, temanku itu mengalami kecelakaan. Saat menjelang maghrib, ia melajukan sepada motor yang dikendarainya dengan kecepatan tinggi. Tanpa dinyana, di sebuah tikungan muncul mobil truck dari arah yang berlawanan, dan demi menghindari tabrakan, ia membanting stir motornya dan tergelincir ke tepi jalan, jatuh bergulingan. Motornya rusak berat, sedangkan dia cedera kakinya.
Melihat dua peristiwa itu, seakan tidak berhubungan satu sama lainnya, tapi jika dicermati secara mendalam, kaitannya sangat erat. Kita sering beranggapan dan bahkan meremehkan, bahwa seburuk apapun perbuatan kita tidak akan ada balasannya dari Allah. Seperti peristiwa yang dialami temanku itu. Dia merasa bahwa setelah mengumpat dengan kata-kata yang kotor di saat shalat, dia merasa tidak ada resikonya sama sekali. Dia merasa tidak ada pembalasan apapun dari Sang Ilahi. Tapi ternyata, pembalasan itu tetap ada, namun waktunya yang tidak bisa diduga. Karena sesungguhnya, pembalasan itu memang tidak bersifat spontan. Saat ini berbuat, saat ini juga mendapatkan pembalasan. Tidak selalu demikian. Karena Allah selalu punya cara untuk menimpakan hukuman. Hukuman itu bisa bersifat langsung, bisa juga tertunda beberapa lama, tapi semua orang bisa dipastikan akan tetap merasakannya. Hal itulah yang dialami oleh temanku. Semoga peristiwa yang dialaminya bermanfaat bagi kita semua.
Membentangkan segala yang ada, disujudkan dengan sepenuh jiwa dan dengan kekhusyukan yang sempurna, dari dan kepada-Nya melalui semesta.
Ads1
11 April 2008
02 April 2008
Jelajah Ranah
Saggau, Kota Kecil Nan Memukau
Harris Cinnamon
TSUNAMI ADALAH RENCONG
ADALAH DIDONG
ADALAH RANDAI
Tsunami adalah rencong
adalah pusaka yang dikramatkan
di atas ranah Darussalam kita.
Pusaka yang jarang dirempah bunga
yang langka disintuh doa
akan murka…
Tsunami adalah rencong
yang oleh kita diasah tajam
namun lupa disarungkan,
merobek dan menikam
jantung kita sendiri…
Tsunami adalah didong
adalah dendang kemuliaan
di atas bumi Banda,
namun jarang disenandungkan…
maka gempalah didong-nya…
nyanyian yang menyayat sukma…
Tsunami adalah randai
adalah tarian mengurai damai
di tanah serambi Mekkah…
tapi tubuh-tubuh dan tangan-tangan kita
terlalu kaku untuk menarikannya…
maka badai yang menggoyangkannya…
Tsunami telah meluhluh-lantakkan kita
Tsunami mendukakan luka kita
Tsunami mengubur jiwa-jiwa kita…
Kita patut menangis
Kita patut bersedih
Tapi kita tak boleh berhenti berdoa…
Kalau kita harus marah…
marahlah pada dosa kita
Jangan marah pada Tuhan!
Kalau kita harus benci…
bencilah pada nista kita
Jangan benci pada alam!
Bencana ini terjadi karena tidak pernah dikafani
dengan ketawadhuan dan keimanan kita…
Badan kita hidup, tapi jiwa kita telah lama mati
yang seharusnya sudah pula dimakamkan
tanpa batu nisan di atasnya...
27 Desember 2004
Jakarta
Harris Cinnamon
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika aku akan singgah di kota Kabupaten Sanggau. Mendengar namanya pun belum pernah. Apalagi secara sengaja maupun tidak melihatnya di atlas. Tapi nyatanya, 15 Maret 2008, aku telah menginjakkan kaki di kota ini.
Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara provinsi Kalimantan Barat dan mempunyai jarak tempuh sekitar 5 jam perjalanan dari kota Provinsi Pontianak. Selepas menyeberang jembatan yang ada di kota Pontianak, aku bersama 3 orang temanku, Supri, Agus dan Syafrizal, langsung menuju ke kota yang tadi aku sebutkan, Sanggau. Seperti apakah kota Sanggau yang dimaksud, belum bisa dibayangkan sama sekali di benakku. Yang jelas jalan menuju kota itu sempat melalui beberapa dusun kecil, hutan rimba, dan ada sekitar satu jam-an diguncang oleh jalanan tanah yang berundak-undak. Temanku Supri sempat merasakan mual-mual, karena guncangan kendaraan yang disebabkan tidak mulusnya jalan yang dilalui.
Seusai menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, di ujung jalan yang buruk dan sedikit memasuki jalanan beraspal, kami diajak sopir mampir di sebuah kedai. Oh, ya hampr lupa, sopir yang membawa kami namanya Bowo, arek Surabaya memang, tapi sudah jadi warga kota jeruk itu. Kedai ini terletak di pinggir jalan dan di tengah hutan. Sepertinya tidak ada kedai lain di sini. Bahkan perkampungan pun tidak ada. Tapi semua kendaraan yang melintas di jalan ini bisa dipastikan akan menyinggahinya. Kedai ini adalah milik suku dayak, yang kebetulan adalah luruh di kampung tersebut. Pegawainya atau anaknya, dua orang perempuan berwajah china. Merekalah yang melayani kami ketika kami mampir di kedai ini.
Ada sekitar 15 menit, aku dan teman-temanku mampir, melepas penat. Aku memesan segelas kopi. Kopi di sini hampir sama dengan kopi Aceh. Berwarna kemerahan dan tanpa ampas. Sementara itu dua orang temanku Supri dan Agus sibuk manawar jamu sarang semut yang tergantung di dinding kedai. Mereka sepakat membeli 2 bungkus jamu sarang semut itu, yang konon dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Harga perbungkusnya Rp 12.500. Sedangkan Syafrizal menyempatkan diri nongkrong di kamar kecil di kedai ini, hajatnya tak lain ya buang hajat! Ha ha….
Seusai menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam, di ujung jalan yang buruk dan sedikit memasuki jalanan beraspal, kami diajak sopir mampir di sebuah kedai. Oh, ya hampr lupa, sopir yang membawa kami namanya Bowo, arek Surabaya memang, tapi sudah jadi warga kota jeruk itu. Kedai ini terletak di pinggir jalan dan di tengah hutan. Sepertinya tidak ada kedai lain di sini. Bahkan perkampungan pun tidak ada. Tapi semua kendaraan yang melintas di jalan ini bisa dipastikan akan menyinggahinya. Kedai ini adalah milik suku dayak, yang kebetulan adalah luruh di kampung tersebut. Pegawainya atau anaknya, dua orang perempuan berwajah china. Merekalah yang melayani kami ketika kami mampir di kedai ini.
Ada sekitar 15 menit, aku dan teman-temanku mampir, melepas penat. Aku memesan segelas kopi. Kopi di sini hampir sama dengan kopi Aceh. Berwarna kemerahan dan tanpa ampas. Sementara itu dua orang temanku Supri dan Agus sibuk manawar jamu sarang semut yang tergantung di dinding kedai. Mereka sepakat membeli 2 bungkus jamu sarang semut itu, yang konon dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Harga perbungkusnya Rp 12.500. Sedangkan Syafrizal menyempatkan diri nongkrong di kamar kecil di kedai ini, hajatnya tak lain ya buang hajat! Ha ha….
Setelah merasa cukup melepas kepenatan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar satu setengah jam sesudah itu, kami pun tiba di kota yang dimaksudkan. Kota Sanggau, Bupatinya Bapak Yansen Akun Effendy. Kota ini sama seperti kota-kota kabupaten lainnya di wilayah jawa, tropis, dataran tinggi berbukit-bukit dan sedikit dilingkupi tanah rawa. Pertama-tama sasaran kami adalah langsung menuju hotel di mana kami harusnya menginap dan beristirahat. Hotel Grand Narita namanya. Membaca nama hotel itu, seolah sedang berada di Jepang. Tapi tidak. Ini memang hotel yang ada di kota ini. Grand Narita merupakan hotel terbesar dan termegah di sini.

Ini adalah hotel Narita, tempat aku dan teman-teman nginap.
Ini adalah hotel Narita, tempat aku dan teman-teman nginap.
Menjelang sore, aku menuju ke tepi sungai Kapuas. Di tepi sungai yang membentang panjang dan lebar ini terdapat Istana Kraton Suryanegara. Aku sempat bergambar dan mengabadikan beberapa sudut lanskapnya. Ada beberapa buah mariam peninggalan kompeni yang dipajang di halaman istana.

Aku berpose dengan latar belakang Kraton Suryanegara.
Aku berpose dengan latar belakang Kraton Suryanegara.
Tak jauh dari Kraton yang kini juga difungsikan sebagai museum, terdapat masjid tua peninggalan Sultan atau dikenal juga dengan sebutan Syeh Ayub. Mesjid tua ini didirikan pada tahun 1825-1828. Seluruhnya bangunannya didominasi oleh kayu ulin. Dan konon sampai saat ini baru 2 kali mengalami renovasi, tapi tetap tidak menghilangkan jatidiri pada masjid tesebut. Yang menarik perhatianku adalah sumur tua dari batu yang terletak dibawah dan sekaligus menjadi penyanggah masjid. Air dari sumur ini berasal dari tampungan air hujan, dan kadang-kadang air Kapuas yang sengaja dimasukkan ke dalamnya apabila musim kemarau.

Aku dengan latar belakang masjid Jami' Syeh Ayub.

Aku dengan latar belakang masjid Jami' Syeh Ayub.
Karena kebetulan ketika sampai di mesjid tersebut azan maghrib berkumandang, maka kamipun segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat maghrib berjamaah dengan penduduk setempat. Mereka tampaknya asing melihat kami, terutama terhadap diriku. Karena seperti biasa, pakaian yang sering kukenakan sangat standard, celana jins belel -- sedikit robek-robek (tapi tidak bolong) dan kaos oblong. Sementara penampilan fisikku yang paling menonjol adalah rambutku yang gondrong. Tapi dalam keasingan pandangan mereka, terdapat keramahan yang manawan.

Warung Bubur Khas Sanggau yang terletak di atas tanah yang menjorok tinggi.
Warung Bubur Khas Sanggau yang terletak di atas tanah yang menjorok tinggi.
Keesokan harinya, kami menyempatkan diri makan bubur khas Sanggau di warung yang terletak di atas tanah menjorok ke atas, semacam bukit kecil di tepi jalan, ya kira-kira begitulah! Bubur di sini tidak seperti bubur ayam di Jakarta. Barangkali lebih tepat jika disebut sebagai bubur ikan, karena lauknya memakai ikan bukan ayam. Selain itu buburnya lebih mirip nasi basah yang diberi air hingga banjir. Biasanya ditambah dengan sayur selada, tong chai, minyak bawang putih, garam, kecap dan juga micin. Rasanya pun wow sedap! Apalagi jika ditambah sambal, bisa keluar keringat saat menyantapnya.
Tapi di warung ini udaranya cukup dingin. Mungkin karena berada di dataran tinggi bersebelahan dengan jembatan Sekayam. Dari warung ini, kita bisa memandang ke kejauhan wilayah sekitar kota Sanggau, bahkan dari sini kita juga bisa melihat sungai Kapuas. Sungai Sekayam sendiri dibentangi oleh dua buah jembatan, satu jembatan gantung dan satunya lagi jembatan beton yang ada tiang penyanggahnya. Dua jembatan ini juga menjadi salah satu daya tarik dari kota Sanggau.

Ini adalah lanskap sungai Kapuas, sore hari.
Tapi di warung ini udaranya cukup dingin. Mungkin karena berada di dataran tinggi bersebelahan dengan jembatan Sekayam. Dari warung ini, kita bisa memandang ke kejauhan wilayah sekitar kota Sanggau, bahkan dari sini kita juga bisa melihat sungai Kapuas. Sungai Sekayam sendiri dibentangi oleh dua buah jembatan, satu jembatan gantung dan satunya lagi jembatan beton yang ada tiang penyanggahnya. Dua jembatan ini juga menjadi salah satu daya tarik dari kota Sanggau.
Ini adalah lanskap sungai Kapuas, sore hari.
Kami tidak lama di kota yang bersebelahan langsung dengan Kuching, Serawak, Malaysia ini. Kami hanya tiga hari saja melanglang di negeri suku dayak Bedayuh, Dili dan dayak Desa ini. 17 Maret 2008, selepas maghrib kami kembali menuju kota Pontianak. Tapi pulangnya tidak melalui jalan yang sama dengan ketika kami datang. Pulangnya melalui jalan lama, menurut istilah orang-orang di sana, yang paling banyak kelak-keloknya. Mirip sirkuit balapan. Sopir-sopir dibutuhkan kehati-hatian bila melalui jalan ini. Semua temanku Supri, Agus dan Syafrizal tertidur nyenyak, mungkin capek. Sedangkan aku tak bias tidur, karena khawatir sopir ikut-ikutan ngantuk. Jadi sepanjang perjalanan, terpaksa sopir aku ajak bicara. Bicara apa saja, tak perlu ada maknanya. Sekitar pukul 22.00 Wib, kita mampir di warung yang juga satu-satunya di tengah hutan. Kita mengisi perut dengan makanan yang mirip dengan masakan Padang. Penutupnya, kita makan beberapa buah duren. Durennya besar-besar, daging buahnya juga tebal. Rasanya manis dan legit. Wow, sempurnalah sudah perjalanan kami kali ini…
Pontianak, 18 Maret 2008.
01.45 WIB.
Hotel Garuda, Pontianak.
Di penghujung tulisan ini, aku juga sempat menuliskan sebuah puisi:
Pontianak, 18 Maret 2008.
01.45 WIB.
Hotel Garuda, Pontianak.
Di penghujung tulisan ini, aku juga sempat menuliskan sebuah puisi:
disebabkan oleh anginMu
aku bagai bulu melayang jauh...
seperti tak mengerti maksudMu
namun kuresapkan ke dalam kalbu
apalagi saat singgah di rumahMu
di pinggir Kapuas, di kota Sanggau
aku mencium kesturiMu yang muncul dari abad lampau
oh, terbangkanlah selalu diriku
seperti ini, seperti bulu, ya Rabb-ku!!
TSUNAMI ADALAH RENCONG
ADALAH DIDONG
ADALAH RANDAI
Tsunami adalah rencong
adalah pusaka yang dikramatkan
di atas ranah Darussalam kita.
Pusaka yang jarang dirempah bunga
yang langka disintuh doa
akan murka…
Tsunami adalah rencong
yang oleh kita diasah tajam
namun lupa disarungkan,
merobek dan menikam
jantung kita sendiri…
Tsunami adalah didong
adalah dendang kemuliaan
di atas bumi Banda,
namun jarang disenandungkan…
maka gempalah didong-nya…
nyanyian yang menyayat sukma…
Tsunami adalah randai
adalah tarian mengurai damai
di tanah serambi Mekkah…
tapi tubuh-tubuh dan tangan-tangan kita
terlalu kaku untuk menarikannya…
maka badai yang menggoyangkannya…
Tsunami telah meluhluh-lantakkan kita
Tsunami mendukakan luka kita
Tsunami mengubur jiwa-jiwa kita…
Kita patut menangis
Kita patut bersedih
Tapi kita tak boleh berhenti berdoa…
Kalau kita harus marah…
marahlah pada dosa kita
Jangan marah pada Tuhan!
Kalau kita harus benci…
bencilah pada nista kita
Jangan benci pada alam!
Bencana ini terjadi karena tidak pernah dikafani
dengan ketawadhuan dan keimanan kita…
Badan kita hidup, tapi jiwa kita telah lama mati
yang seharusnya sudah pula dimakamkan
tanpa batu nisan di atasnya...
27 Desember 2004
Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)
Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..
Menatap langit, menguak cakrawala, menyentuh cinta dengan sajadah jiwa
Boleh Dong Numpang Mejeng....
Mencoba menatap masa depan sebisanya, sesapanya...
Mejeng lagi tuh...duh ampun...
Ah....kayaknya cukup keren jugalah...
Gadis Aceh
Aku mengenal gadis ini dengan nama Ayu. Nama lengkapnya belum tahu. Tapi menurutku namanaya kurang mencerminkan etnik Aceh, padahal wajahnya sangat pribumi (khas wajah-wajah gadis Aceh). Wajahnya mengingatkan aku pada sosok Tjut Nyak Dhien. Tapi tentu dalam bayanganku, adalah saat Tjut Nyak Dhien masih belia. Selain itu, aku juga jadi terbayang pada para pemeran wanita film Ayat-Ayat Cinta. Menurutku, Ayu sangat pas untuk memerankan salah satu tokoh gadis dalam film garapan Hanung Bramantyo itu. Aku punya saran, kalau nanti ada yang akan membesut film religi Islam, sebaiknya mengikutkan Ayu untuk jadi salah satu pemerannya. Kalau tidak ada, aku sendiri pun berniat untuk mengorbitkannya menjadi salah seorang seleberitis Indonesia dengan wajah kedaerahan Aceh yang kental.