Ads1

17 September 2008

Kaca Jiwa

Nyamuk di Malam Nuzulul Quran

Harris Cinnamon

Malam diselubungi udara dingin, sehabis gerimis di masjid An Nida'. Bisa jadi, disebabkan sehabis hujan itu, nyamuk-nyamuk berhamburan keluar. Kok lebih banyak ya jumlahnya dibanding sebelum malam Nuzulul Quran. Malam saat diturunkannya surat pertama dari Al Quran, Iqro, 17 Ramadhan, yang pada tahun 2008, bertepatan dengan tanggal 17 September. Banyaknya jumlah nyamuk itu mungkin sudah mencapai ratusan. Tak sebanding dengan orang yang melaksanakan qiyamulail. Di masjid, hanya beberapa orang saja yang ingin i'tikaf sekaligus tadarusan. Ya, tak begitu aku perhatikan. Mungkin sekitar 5 orang saja. Ada juga beberapa orang lagi sih, tapi mereka tidur lelap di teras masjid. Dan mungkin tengah dibuai mimpi indah tentang lebaran yang tak lama lagi akan tiba. Yang ini aku tidak mengkategorikannya sebagai i'tikaf.

Kembali ke soal nyamuk. Nyamuk-nyamuk yang banyak itu, tampaknya agak mengganggu konsentrasi teman-temanku. Mereka ada yang menepuk nyamuk-nyamuk itu sampai mati saat hinggap di kulit dan menghisap secuil darah mereka. Aku miris juga melihatnya.

"Kenapa dibunuh nyamuk-nyamuk itu?" tanyaku.

"Gigitannya sakit," sahut salah seorang temanku.

"Takut kena malaria," timpal yang lainnya.

Astaghfirullah! Sebegitu rugi dan takutnya, pikirku terhadap teman-temanku. "Seharusnya kalian usir saja nyamuk-nyamuk itu," saranku. "Jangan kalian bunuh."

"Memangnya kenapa?" tanya salah seorang temanku yang lain lagi. Aku coba menjelaskan pandanganku. Hanya berdasar pemikiranku saja. Tidak ilmiah, mungkin. Dan tanpa teori apapun, baik teori kesehatan, sosial, ataupun secara agama. Lebih kepada pandangan pribadi semata. "Malam ini, pas malam Nuzulul Quran, kehadiran nyamuk-nyamuk yang demikian banyak itu, -- sikapi secara positif -- sebagai pertanda agar kita tetap bisa melek mata. Supaya, kita yang tadinya ngantuk berat jadi tebangun ketika mendengarkan dengungan suaranya dan gigitannya di kulit kita. Dengan begitu, kita bisa baca Al Quran dan shalat malam.Bisa mendapatkan barokah dari malam yang penuh maghfirah ini."

"Masuk akal juga ya," temanku yang lain lagi tertarik.

"Yang jelas, ini alasannya sedikit agak agamis," jawabku. "Setiap mahluk ciptaan Allah, tidak ada yang sia-sia, termasuk nyamuk-nyamuk ini."

"Karena itu tak ada alasan bagi kita untuk membunuhnya," paparku kemudian agak spesifik. "Seberapa banyakpun nyamuk menggigit dan menghisap darah kita, tidak akan membuat kita kehabisan darah."

"Tapi 'kan bisa menyebabkan malaria dan bahkan kematian," temanku coba menampik.

"Sebenarnya, Allah mengajarkan kita untuk saling mengasihi sesama mahluk hidup. Nyamuk 'kan mahluk hidup, berarti kita harus menghasihinya. Nah, barangkali karena kita tidak mengasihinya -- hanya diambilnya sedikit darah kita, kita lantas membunuhnya. Bahkan, belum digigitnya saja kita sudah sibuk menyemprotkan racun serangga. Takut benar kalau nanti digigitnya. Nah, bisa jadi disebabkan itu, makanya nyamuk-nyamuk itu -- utamanya aedes aegiptibalas dendam; mereka lantas mencari bibit penyakit virus dengue dan menularkannya kepada kita. Kepada yang tidak menyayanginya."

"Subhanallah," teman-temanku serentak menanggapi paparanku. "Masuk akal juga pendapatmu itu...itu termasuk ayat-ayat qauniyyah (fenomena alam)..."

Setelah itu, teman-temanku menjadi khusyuk i'tikaf dan tadarusan, meskipun nyamuk semakin bertambah jumlahnya. Suara dengungannya dan gigitannya sudah tidak dirasakan lagi. Malam yang dingin, begitu lembut menyentuh kalbu. Malam Nuzulul Quran pun bertmbah syahdu.

Jakarta, 17 Ramadhan 1429 H

Tidak ada komentar:

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..
Menatap langit, menguak cakrawala, menyentuh cinta dengan sajadah jiwa

Boleh Dong Numpang Mejeng....

Boleh Dong Numpang  Mejeng....
Mencoba menatap masa depan sebisanya, sesapanya...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...
Ah....kayaknya cukup keren jugalah...

Gadis Aceh

Gadis Aceh
Aku mengenal gadis ini dengan nama Ayu. Nama lengkapnya belum tahu. Tapi menurutku namanaya kurang mencerminkan etnik Aceh, padahal wajahnya sangat pribumi (khas wajah-wajah gadis Aceh). Wajahnya mengingatkan aku pada sosok Tjut Nyak Dhien. Tapi tentu dalam bayanganku, adalah saat Tjut Nyak Dhien masih belia. Selain itu, aku juga jadi terbayang pada para pemeran wanita film Ayat-Ayat Cinta. Menurutku, Ayu sangat pas untuk memerankan salah satu tokoh gadis dalam film garapan Hanung Bramantyo itu. Aku punya saran, kalau nanti ada yang akan membesut film religi Islam, sebaiknya mengikutkan Ayu untuk jadi salah satu pemerannya. Kalau tidak ada, aku sendiri pun berniat untuk mengorbitkannya menjadi salah seorang seleberitis Indonesia dengan wajah kedaerahan Aceh yang kental.