Ads1

24 Januari 2008

CERPEN

Ujung Jalan
Harris Cinnamon
E-mail:
harris.cinnamon@tpi.tv
harris.cinnamon@yahoo.com

Satu setengah jam kemudian, kami satu rombongan Produksi Film Indie akan segera meninggalkan Bali, berangkat dengan pesawat menuju Jakarta. Sialnya salah seorang dari kami, Tito – seorang seleberitis yang ikut berperan dalam Film Indie tersebut, kedatangan teman kenalannya, Santi. Tito menyambut hangat wanita berwajah cantik dan tubuh seksi itu. Sejenak mereka berpelukan dan cipika-cipiki. Asyik masyuk sendiri. Seolah tiada orang lain di sekelilingnya.
Sebelum mengajak wanita itu ke dalam kamar hotel yang kami sewa, Tito sempat melirik ke arah kami dengan mata berbinar sekaligus nakal. Ia hanya melempar kata pendek kepada kami, “Aku berlayar dulu ya…!”
Kami hanya bisa saling pandang dan menggeleng atas sikap Tito dan wanita “apanya” itu. Entah apa yang akan mereka lakukan di dalam kamar. Kami tak begitu perduli. Kami hanya takut ia berlama-lama bersama wanita itu, dan akhirnya ketinggalan pesawat.
5 menit. 10 menit. 15 menit…Akhirnya ketakutan kami tersingkirkan. Tito dan wanita itu keluar dari kamar. Dan kembali seperti awal kedatangannya, sejenak ia berpelukan dan cipika-cipiki dengan Tito, dan kemudian pergi sambil menyisakan senyumnya yang sumringah.
Dan…Astaghfirullah. Secara serentak kami melihat retsliting celana Tito terbuka. Agaknya ia tergesa-gesa dan lupa untuk mengancingkannya. Melihat hal ini, tentulah bisa diduga apa yang telah dilakukan Tito dangan wanita kenalannya (baca: kenakalannya) itu. Karena sesungguhnya, “Di antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya bercengkerama, maka syetanlah yang akan merasukinya”. Mereka pasti telah melakukan maksiat, terlaknat.
Benar. Tanpa diminta, sambil mengatupkan pintu celananya yang terbuka, Tito kemudian menceritakan dengan bangga perbuatannya. Ia telah benar-benar berlayar dan mereguk sampai tuntas kenikmatan anggur dunia. Ia merasa itulah manifestasi dari kejantanan dan kesejatian pria. Padahal, di mata Allah justru saripati dari kejantanan dan kesejatian pria (ataupun wanita) adalah akhlakul karimah, bukan nafsu syahwat syetaniah.
Naudzubillah. Kami saling pandang dan menggelengkan kepala. Kami merasakan kegundahan mendera jiwa. Betapa tidak, sebentar lagi, kami akan berangkat dengan pesawat, dengan salah seorang yang hati dan badannya dilumuri kotoran maksiat. Apalagi secara nyata-nyata, setelah berbuat zina tidak mandi mensucikan jiwa dan bertaubat atasnya. Benar-benar najis dan nista.



Kalau tadi kami ketakutan akan ketinggalan pesawat, sekarang kami sangat ketakutan kalau harus terbang satu pesawat dengan orang yang mengusung noda dosa di dalam kalbu dan raganya. Kami kembali saling pandang. Tampak benar binar ketakutan memerah di wajah kami. Kami cemas akan azab Allah menimpanya, dan tentu saja akan berimbas pada kami yang bersamanya.

***

Satu setengah jam telah berlalu. Sekarang kami telah memasuki perut pesawat. Ketakutan dan kecemasan makin kencang membuncah jiwa. Dalam ketakutan dan kecemasan itu, tentu tak ada lain yang dapat kami lakukan, kecuali berdoa sekhusyuk-khusyuknya, “Ya Allah, ampunilah dia atas kenikmatan dunia yang telah direguknya, ampunilah dia atas ketidakatahuannya bahwa sesungguhnya Engkau telah menyediakan wanita-wanita yang muda, indah dan mulia di alam sorga, dan hindarkanlah kami dari kecelakaan pesawat yang kami tumpangi ini, ya Allah.”
Pesawat telah makin tinggi mengudara. Mulut kami terus menerus komat-kamit melantunkan doa keselamatan. Sementara Tito, kami lihat tenang-tenang saja, seperti orang suci dan alim layaknya.
Tanpa dinyana…! Tiba-tiba, di luar terdengar suara petir menyambar bersahutan seiring hujan yang mengucur lebat. Sesekali pesawat terguncang dengan hebat. Ketakutan dan kecemasan pun terasa makin mendahsyat. Apalagi ditimpali suara pramugari yang mengingatkan agar kami semua tetap tenang dan tetap mengenakan sabuk pengaman dengan kuat. Sungguh, saat itu, serasa azab dari Allah segera datang mendera. Dan sungguh pula, ketika itu, tak ada lagi yang bisa diharap, kecuali berserah pasrah pada takdir-Nya. La haula wala quwwata illa billah…
Namun, kenyataan berkata lain, tak ada kecelakaan yang menimpa. Pesawat yang kami tumpangi tiba dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Kami semua, termasuk Tito, juga selamat. Utuh, tak ada yang kurang. Alhamdulillah. Namun, sejenak timbul pikiran picik dalam benak, mengapa Allah tidak menimpakan balak pada orang seperti Tito dengan telak? Tapi pada sisi lain, aku (dan aku yakin kami semua) merasa diuntungkan. Coba jika seandainya azab Allah itu benar datang menimpa, maka semua akan mengalami celaka…

***

Kisah maksiat yang dilakukan Tito telah berlalu. Cerita ketakutan dan kecemasan di dalam pesawat terhadap azab Allah juga telah berlalu. Berlalu beberapa tahun yang lalu. Dan kami, terutama aku, sudah lama tidak berjumpa dengan Tito, bahkan sudah tidak satu pekerjaan lagi. Entahlah bagaimana keadaan Tito sekarang? Mungkin ia masih terus berkubang dalam lumpur kemaksiatan atau sudah jadi orang yang beriman?
Hari ini, aku akan bepergian ke luar kota. Ke Yogyakarta. Aku ingin mengikuti acara pengajian di sebuah masjid yang baru dibangun di daerah Bantul, setelah sebelumnya porak-poranda dihantam bencana.



Begitu aku memasuki ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, aku terperangah menyaksikan seraut wajah yang sangat bersih. Wajah itu sangat bercahaya. Namun yang membuat aku merasa aneh, pemilik wajah ber-Nur Illahiah itu adalah Tito. Alangkah…? Mungkinkah…?
Dengan hati diliputi tanya dan rasa tak percaya yang mendalam, aku menghampirinya. Dia tersenyum menyambut kedatanganku. Setelah berjabat tangan, aku duduk di sebelahnya. Terjadi basa-basi sejenak di antara kami, sebelum terlibat perbincangan yang cukup serius.
“Aku lihat kamu banyak berubah…” tukasku beberapa saat kemudian.
“Banyak yang mengatakan begitu, “ jawabnya, “Tapi aku merasa biasa-biasa saja.”
“Masih berkecimpung di dunia keartisan?” Pertanyaan ini tiba-tiba terlontar, karena memang sudah cukup lama aku tidak melihatnya di layar kaca.
“Mungkin ini yang disebut ‘banyak berubah’, karena sudah sejak lama aku meninggalkan dunia yang penuh glamor itu.”
“Terus sekarang kegiatannya apa?”
Belum sempat menyelidik lebih jauh lagi mengenai kiprahnya, tiba-tiba ada panggilan yang menyuruh kami agar segera memasuki pesawat. Aku, Tito dan semua calon penumpang segera berhamburan beranjak memasuki pesawat.
Di dalam pesawat, kami duduk terpisah jauh. Tito duduk di bangku deretan depan, sedang aku duduk di bangku paling belakang. Sehingga niat ingin melanjutkan perbincangan, tak kesampaian.
Begitupun ketika turun dari pesawat, ia seperti di telan zaman. Lenyap. Menghilang. Tinggallah harapan di dalam benakku, semoga suatu saat bisa bertemu lagi.

***

Ba’dah Isya, aku telah berada di antara ratusan (lebih dari 500 jamaah) yang hadir dalam pengajian di masjid di daerah Bantul tersebut. Panitia pengajian menginformasikan, bahwa sebentar lagi Ustadz yang akan memberikan tausyiah segera menaiki mimbar.
Dan betapa tercangangnya aku begitu mengetahui bahwa Ustadz yang dimaksud adalah Tito. Seeorang pria yang pernah melakukan maksiat di depan mata kepalaku sendiri, sekarang sudah menjadi seorang mubaligh…Subhanallah…Aku tenggelam dalam kemustahilan. Sampai-sampai aku tak mendengar tausyiah yang disampaikannya.
Begitu tersadar, aku langusung mengejarnya seusai ia turun dari mimbar. Aku langsung menemuinya. Seperti ketika ketemu tadi siang di bandara, ia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku menjabat tangannya dengan erat, dan seperti mengerti apa yang berkecamuk dalam benakku, dia langsung berujar.
“Inilah kegiatanku sekarang, “ tukasnya. “Dan inilah jawaban atas pertanyaan yang kamu ajukan siang tadi di ruang tunggu bandara.”
“Mungkin kamu masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, kira-kira satu setengah jam menjelang keberangkan kita ke Jakarta, “ tiba-tiba ia bercerita, tanpa kuminta. “Aku kedatangan wanita, teman kencanku. Di dalam kamar, aku melakukan maksiat dengannya. Ketika itu aku sangat bangga atas perbuatanku. Bahkan aku merasa tidak berdosa sama sekali. Aku memasuki pesawat tanpa junub, tanpa membersihkan badan terlebih dahulu. Tapi ketika badai dan petir mengguncang dengan dahsyat pesawat yang kita tumpangi. Aku begitu ketakutan…!”
“Tapi kulihat kamu tenang-tenang saja waktu itu,” pancingku.
“Karena ketakutan yang dahsyat mencekamku, aku jadi diam terpaku. Jantungku serasa berhenti berpacu. Seolah sakratul maut sudah datang menjemput. Kurasakan kematian sudah sangat dekat denganku. Aku pasrah ketika itu.”
“Bagaimana orang yang berdosa, orang yang habis melakukan maksiat bisa begitu pasrah?”
“Aku memang salah, aku memang berdosa, “ ujarnya lirih. “Aku tak menolak jika Tuhan mencabut nyawaku dalam keadaan bernoda waktu itu. Aku pasrah sekalipun harus meninggal dalam keadaan su’ul khotimah. Karena aku yakin, kalau bencana itu benar-benar datang menimpa, maka dosa-dosaku makin lengkap dan sempurna. Karena kematian pasti bukan hanya menimpa diriku, tapi merenggut juga seluruh nyawa penumpang yang tak berdosa yang ada di pesawat itu. Tapi nyatanya Tuhan berkehendak lain. Ia menyelamatkanku. Ia menyelematkan kita semua. Dan sejak saat itu, aku berjanji pada diriku untuk tidak berbuat maksiat lagi…aku taubat…taubatan nasuhah…dan inilah -- seperti yang kujalani ini – hikmah dari kemaksiatan yang aku lakukan…”
“Subhanallah,” hanya itu yang keluar dari bibirku, sambil menepis sisa-sisa prasangka yang selama ini bersarang di dalam jiwa…
“Banyak episode sinetron telah aku bintangi,” tukas Tito memutus keherananku. “Aku jago akting. Jadi, kenapa tidak kumanfaatkan keahlianku ini untuk berdakwah?”
Aku terharu mendengar penuturannya. Sekarang justru aku merasa kerdil di mataNya, aku yang sering mengikuti pengajian, justru belum bisa berdakwah atau memberikan tausyiah, seperti yang Tito lakukan.
“Aku telah menemukan jalanku,” ujarnya kemudian, seperti hendak mengakhiri perbincangan, karena tanpa terasa malam telah larut. “Inilah ujung jalan dari kemaksiatanku…” (Dimuat di m ajalah islam Alia)



Pondok Gede, 20 April 2007

Harris Cinnamon
Jl. Sadar I, No. 35, Rt.02/Rw.06
Lubang Buaya, Jakarta Timur 13810

1 komentar:

Awanz mengatakan...

critanya apik bgt..

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..
Menatap langit, menguak cakrawala, menyentuh cinta dengan sajadah jiwa

Boleh Dong Numpang Mejeng....

Boleh Dong Numpang  Mejeng....
Mencoba menatap masa depan sebisanya, sesapanya...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...
Ah....kayaknya cukup keren jugalah...

Gadis Aceh

Gadis Aceh
Aku mengenal gadis ini dengan nama Ayu. Nama lengkapnya belum tahu. Tapi menurutku namanaya kurang mencerminkan etnik Aceh, padahal wajahnya sangat pribumi (khas wajah-wajah gadis Aceh). Wajahnya mengingatkan aku pada sosok Tjut Nyak Dhien. Tapi tentu dalam bayanganku, adalah saat Tjut Nyak Dhien masih belia. Selain itu, aku juga jadi terbayang pada para pemeran wanita film Ayat-Ayat Cinta. Menurutku, Ayu sangat pas untuk memerankan salah satu tokoh gadis dalam film garapan Hanung Bramantyo itu. Aku punya saran, kalau nanti ada yang akan membesut film religi Islam, sebaiknya mengikutkan Ayu untuk jadi salah satu pemerannya. Kalau tidak ada, aku sendiri pun berniat untuk mengorbitkannya menjadi salah seorang seleberitis Indonesia dengan wajah kedaerahan Aceh yang kental.