Ads1

01 Februari 2008

KACA JIWA

Antara Becak dan Taksi
Harris Cinnamon
E-mail:
harris.cinnamon@tpi.tv
harris.cinnamon@yahoo.com

Jogyakarta, 25 Januari 2008. Ini hari pertama aku menginap di hotel Saphir. Sebagai tempat istirahat, tentu hotel ini cukup mewah dan nyaman. Ada TV dengan multi channel, kulkas, lemari pakaian, mandi hangat-dingin, perlengkapan mandi tersedia, kasurnyapun empuk. Tapi sayangnya dari dalam bangunan berbintang empat ini “energi” kota gudeg, kurang terasa olehku. Karena setiap bepergian, impianku adalah selalu ingin merasakan suasana asli (baca: tradisional) dari setiap kota yang aku singgahi. Rasanya lebih afdol, jika aku tinggal di rumah joglo, yang teras dan pekarangannya terbuat dari batu alam, dipenuhi tumbuhan bunga-bungaan, ada ayam bekisar dan kolam kecil dengan air gemericik yang keluar dari batu.

Karena sejak tiba, suasana seperti itu belum aku dapatkan dan kebetulan perutku terasa lapar, sekitar pukul 21.30 wib, aku putuskan untuk keluar dari kungkungan beton yang semalamnya dihargai lebih dari Rp 350.000,- itu.

Malam mulai larut. Lampu-lampu di pinggir jalan masih menyala, tapi keadaan sekitar sudah mulai lengang. Ada beberapa buah taksi dan juga beberapa buah becak yang terparkir, sedang para pengemudinya terlelap dibuai mimpi di joknya. Ada keinginanku untuk membangunkannya, tapi urung, takut membuyarkan mimpi mereka. Dan untung, tak lama kemudian, ada sebuah becak meluncur. Aku menghentikannya.

“Mas, ke Malioboro berapa?” tanyaku. Sebelumnya aku kurang tahu pasti berapa kilometer jarak hotel Saphir dengan Malioboro.

“Terserah Mas sajalah,” sahut tukang becak itu.

“Waduh, bagaimana ini?” batinku, “Masak soal ongkos aku yang harus menentukan?”

Akhirnya sambil membantin begitu, aku menaiki becanya. Sambil perut keroncongan pula, aku coba menimbang-nimbang kira-kira berapa ongkos yang harus aku bayarkan.
Sambil membayangkan gerobak angkringan di jalan Sosrowijayan, aku ambil dompetku, mengintip isinya. Astaga. Uang recehan yang tersisa, Cuma Rp 10.000,- Sedangkan yang lainnya, ada sekitar empat lembar pecahan Rp 50.000,-an. Celaka, kalo aku bayar dengan pecahan Rp 50.000,-an, takut dia tidak ada kembalian. Akhirnya, aku putusakan, sebarapa jauh jarak yang ditempuh, aku tetap akan memberinya Rp 10.000,- saja. Toh tukang becak itu telah menyerahkan pembayaran padaku.

Setelah menempuh perjalanan dengan waktu sekitar 25 menit-an, sampailah di tempat tujuan. Aku membayarkan uang recehan Rp 10.000,- itu kepada tukang becak. Sambil mengelap peluh di jidatnya dan senyum tulus, ia menerima uang yang aku sodorkan. Bahkan ia sempat mengucapkan, “Terima kasih.” Aku sempat terenyuh. Kalo saja ada uang pecahan Rp 5000,-an lagi, pasti aku akan tambahkan ongkosnya. Karena berdasarkan perkiraanku, jarak antara hotel Saphir dan Malioboro ternyata cukup jauh juga.

Sejenak aku melupakan pengalamanku bersama tukang becak itu. Aku larut dengan aroma arang yang dibakar di gerobak angkringan jalan Sosrowijayan. Aku memesan wedang jahe, untuk mengusir rasa dingin yang menyentuh tubuhku, selama dalam perjalanan dengan becak tadi itu. Aku menyantap dengan lahap sego kucing yang terhidang, dengan lauk beberapa tusuk sate kambing dan 2 potong ceker ayam yang dihangatkan di atas bara arang. Wow, sungguh nikmat, serasa kembali ke alam primitif. Sederhana, tradisonal banget, tapi kenyang. Ini yang penting!

Seusai makan sego kucing, aku tidak langsung pulang ke hotel. Aku jalan-jalan dulu. Mutar-mutar dulu di sepanjang Malioboro. Perhatianku lantas tertuju dengan sekelompok musisi jalanan, yang berpenampilan rada nyentrik. Lagu-lagu yang dinyanyikanpun top fourty-an dengan ala accoustikan atau unpladged. Aku kemudian duduk di bangku taman, yang dijadikan pot untuk tumbuhnya pohon beringin, di depan hotel Inna Garuda. Aku larut dengan suasana dan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh sekelompok pengamen tersebut. Oh, aku merasa inilah Malioboro. Seluruh jalan dan segala aspek yang ada di kawasan ini, menurutku layak dipertahankan oleh Pemda, ini aset budaya, inilah yang senantiasa dirindukan oleh turis mancanegara.

Malam kian larut. Tak lama kemudian, para pemusik itupun bubar. Aku kurang tahu sudah jam berapa. Karena sudah menjadi kebiasaan, aku tidak pernah membawa jam atau penunjuk waktu lainnya. Mungkin sudah di atas jam 23.00. Suasana kembali menjadi hening.

Kemudian, aku putuskan untuk kembali ke hotel Saphir. Semula aku hendak naik becak kembali, seperti ketika aku berangkat menuju Malioboro. Tapi mengingat begitu jauh dan payahnya tukang becak mengayuh dengan jarak tempuh seperti itu, akhirnya aku menyetop taksi saja. Jadi, akhirnya aku pulang ke hotel dengan menumpang taksi. Ternyata tidak sampai sepuluh menit, sudah sampai di depan hotel, dan argonya pun ternyata Cuma Rp 12.500,-

Melihat kenyataan itu, aku cukup kaget. Ternyata perbedaan ongkos yang aku keluarkan (untuk) antara becak dan taksi, tidak begitu signifikan. Sehingga yang terbayang olehku kemudian adalah “wajah kemanusiaan” (lebih dalamnya: hatinurani) kita. Karena ternyata, disebabkan oleh hitung-hitungan yang penuh perhitungan akhirnya kita salah hitung. Pada sopir taksi, kita ketakutan akan dikenai ongkos yang mahal, karena yang akan kita naiki adalah kendaraan mewah. Sedang pada tukang becak, kita masih memperlakukan mereka sebagai sesuatu yang remeh dan murah. Padahal keduanya sama-sama alat angkut. Yang membedakan adalah pada sumber daya kekuatannya. Yang satu mesin, yang satu tenaga manusia. Yang satu menguras bensin, yang satu menguras keringat.

Dari peristiwa ini, aku menjadi mendapatkan sesuatu, bahwa sebagai manusia, kita dituntut pula untuk selalu melihatnya dari sisi “wajah kemanusiaan” (atau hatinurani) itu tadi.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Setelah aku membaca tulisan mas momon, ternyata ada hikmah dibalik semua itu. Kadang-kadang kita memandang sesuatu itu ukurannya adalah fisiknya. Seperti yang terjadi ketika kita akan naik becak tentu yang ada dibenak kita adalah murah, dibandingkan naik taxi. Pada hal kalau dilihat dari sisi yang lainnya sesungguhnya naik becak harusnya lebih mahal. Kenapa begitu, coba bayangkan kalau mesin taxi mogok lalu masuk bengkel paling banter 1 juta - 10 juta. Coba kalau yang masuk bengkel ( sebut saja RS ) sang tukang becak berapa besar biaya yang harus dikeluarkan, sebut saja 5.000 rupiah bahkan sampai ratusan juta rupiah.
Melihat kenyataan itu masihkah kita kalau mau naik becak masih nawar lebih murah lagi, h eh eh hehe

Wassalam

SAJADAH JIWA mengatakan...

terima kasih, li. selanjutnya, setiap hendak melakukan tindakan apapun, supaya mendahulukan hatinurani daripada pikiran (nafs) kita....

Anonim mengatakan...

wah salut deh ama mas yg atu ini

kayaknya lagunya gigi - kagum cocok neh

SAJADAH JIWA mengatakan...

mbah13, terima ksih telah berkunjung di tempat yang insya allah sejuk dan khusyuk...sekali-sekali bolehkah memberikan kritik dan saran terhadap isi atau apa saja yang ada di sajadah jiwa...

mbah13, semoga selalu melanglang jagat cakrawala...sampai ke allah...

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..

Lebih Jelas....Wajah Pemilik Site..
Menatap langit, menguak cakrawala, menyentuh cinta dengan sajadah jiwa

Boleh Dong Numpang Mejeng....

Boleh Dong Numpang  Mejeng....
Mencoba menatap masa depan sebisanya, sesapanya...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...

Mejeng lagi tuh...duh ampun...
Ah....kayaknya cukup keren jugalah...

Gadis Aceh

Gadis Aceh
Aku mengenal gadis ini dengan nama Ayu. Nama lengkapnya belum tahu. Tapi menurutku namanaya kurang mencerminkan etnik Aceh, padahal wajahnya sangat pribumi (khas wajah-wajah gadis Aceh). Wajahnya mengingatkan aku pada sosok Tjut Nyak Dhien. Tapi tentu dalam bayanganku, adalah saat Tjut Nyak Dhien masih belia. Selain itu, aku juga jadi terbayang pada para pemeran wanita film Ayat-Ayat Cinta. Menurutku, Ayu sangat pas untuk memerankan salah satu tokoh gadis dalam film garapan Hanung Bramantyo itu. Aku punya saran, kalau nanti ada yang akan membesut film religi Islam, sebaiknya mengikutkan Ayu untuk jadi salah satu pemerannya. Kalau tidak ada, aku sendiri pun berniat untuk mengorbitkannya menjadi salah seorang seleberitis Indonesia dengan wajah kedaerahan Aceh yang kental.